(Suatu tinjauan historis setahun Kabupaten Minahasa Tenggara)
Oleh Christian H Gosal
SEJARAH suatu bangsa menjadi begitu bermakna sebagai ekspresi berbagai aspek
kehidupan masyarakat dan pembanguannya, sekaligus dapat mencerminkan
apresiasi jati diri manusianya hingga generasi ke generasinya. Dari
landasan itu, dicoba untuk menelusuri sekilas historis tou Pasan, Tonsawang,
Ponosakan dan Ratahan (Patokan) sebagai tou Minahasa Tenggara, tou Minahasa.
Dari Utara
Melalui penelusuran sejarah asal-usul tou Minahasa, khususnya tou Pasan, Tonsawang, Ponosakan, dan Ratahan (Patokan) beberapa pakar seperti AL Beekman, Dr Paul Sarasin, Dr Frits Sarasin, J Ch Gaterer dan O Lorensz menjelaskan, melihat ciri-ciri tou Minahasa umumnya yang bermata sipit hitam kecoklatan dan warna kulit lebih terang dari suku bangsa Indonesia lainnya, menyiratkan bahwa tou Minahasa adalah suku pendatang yang dari luar, boleh jadi berkeluarga dengan bangsa Jepang dan Mongolia. Darinya para sejarawan Minahasa separti J.F. Malonda, (Membuka Tudung Dinamika Filsafat Minahasa Purba, 1951), H.M. Taulu (Sedjarah Minahasa, 1955) dan F. S. Watuseke (Sedjarah Minahasa, 1962) menyimpulkan, suku bangsa Minahasa bertalian dengan Jepang dan Mongolia. Kenyataannya dapat lihat dari bentuk tulang wajah (osteografi), rambut, mata, ruas buku anggota badan, pigmen, darah dan adanya persamaan unsur-unsur arsitek bangunan rumah dan bentuk waruga (Sejarah Minahasa, 1962). Mereka datang sekitar tahun 500 hingga tahun 200 sebelum masehi (zaman perunggu) atau zaman Melayu muda dengan mengarungi lautan, hingga tiba di Minahasa.
Dari pendapat di atas, Tandean, seorang ahli bahasa dan huruf Cina Kuno,
1997 datang meneliti di Watu Pinawetengan. Melalui tulisan “Min Nan
Tou” yang terdapat di batu itu, ia mengungkapkan, tou Minahasa merupakan
turunan Raja Ming dari tanah Mongolia yang datang berimigrasi ke
Minahasa. Arti dari Min Nan Tou adalah “orang turunan Raja Ming dari pulau
itu” Toar adalah seorang panglima perang kerajaan Ming, sedangkan Lumimuut
merupakan putri Raja Ming. Suatu ketika kerajaan Ming mendapat serangan dari
kerajaan tetangga dengan maksud untuk menguasai wilayah kerajaan Ming,
namun peperangan itu dimenangkan oleh pasukan Toar. Kemudian Raja Ming
menghendaki agar putrinya Lumimuut menikah dengan Toar, walaupun sesuai
peraturan istana perkawinan itu tidak memungkinkan karena Toar bukan
keturunan bangsawan (Roy E Mamengko,ed, Etnik Minahasa, 2002). Namun demikian
Raja Ming tetap mengawinkan Toar dan Lumimuut, walaupun keduanya tidak boleh
tinggal di dalam istana. Itu sebabnya setelah menikah, Toar dan Lumimuut
bersama beberapa pengikut di antaranya seorang Walian (pemimpin agama) yang
bernama Karema, Tonaas (pemimpin), Waraney (prajurit pemberani) dan beberapa
rakyat biasa (petani), merantau dengan mengarungi lautan hingga tiba di
pantai ujung utara Pulau Sulawesi dan berlabuh di tempat yang dinamakan
Tinumpaan/Tumpaan, artinya tempat yang dituruni.
Dari Tumpaan mereka melakukan perjalanan ke arah barat hingga tiba di suatu dataran luas yang di tengahnya terdapat sebuah danau besar yang dinamakan Bulilin, artinya dipenuhi air, diapit oleh dua buah gunung, yaitu Gunung Soputan, artinya perkasa, dan Gunung Wulur Mahatus, artinya pegunungan seratus. Di tempat yang baru, Walian Karema mulai mengatur tempat pemukiman di empat lokasi, yaitu bukit Batu, Powod, Abur, dan Kali.
Perkawinan Toar dan Lumimuut, dikaruniai banyak anak (F.S
Watuseke, Op.Cit, 1962). Kehamilan pertama dan kedua Lumimuut melahirkan dua
kali kembar sembilan, sehingga anak–anak itu di namakan Se Makarua Siow
(2x9). Kemudian saat melahirkan ketiga, keempat dan kelima, seluruhnya
kembar tujuh dan anak-anak itu dinamakan Se Makatelu Pitu (3x7). Pada
kelahiran yang keenam dan ketujuh, Lumimuut memperoleh kembar tiga.
Namun anak-anak itu bukan dinamakan Se Makarua Telu (2x3) melainkan Se
Pasiowan Telu, karena setiap kali anak-anak itu dilahirkan, disambut dengan
siulan burung Manguni sebanyak sembilan kali. Kelompok Makarua Siow
kemudian menjadi Walian, Makatelu Pitu menjadi Tonaas dan Pasiowan Telu,
menjadi rakyat biasa.
Adapun empat buah perahu yang menyusul rombongan Toar dan Lumimuut, konon
dua di antaranya berlabuh di Kema, kemudian mendirikan pemukiman di
Minawerot, Kumelembuay dan Kalawat (Klabat). Satu buah perahu berlabuh
di Atep. Mereka menuju ke sebelah barat dan menjumpai sebuah danau
besar yang berada di tengah dataran tinggi dan memutuskan untuk bermukim di
situ lalu mendirikan pemukiman Tataaran, Koya, Tampusu (Remboken) dan
Kakas. Namun beberapa di antaranya, menyusuri pesisir pantai ke arah
selatan hingga tiba di Bentenan dan sebahagian lagi di antaranya menuju ke
sebelah barat lalu mendirikan pemukiman Tosuraya. Sedangkan satu buah
perahu berlabuh di Pogidon kemudian mendirikan pemukiman Singkil dan
Malalayang di sekitar Gunung Bantik.
Ketika penduduk di sekitar Danau Bulilin terus bertambah banyak, para Tonaas, Walian dan Potuusan berinisiatif mengadakan musyawarah untuk membicarakan tentang (Tumani) penyebaran penduduk ke berbagai penjuru di tanah Malesung. Tumani inilah yang dikatakan H. M. Taulu (Op. Cit, 1955) sebagai pemancaran pertama orang Minahasa. Di tempat yang baru, mereka bertemu dengan orang-orang lain yang bukan sekaum Taranak. Di antara turunan mereka, terjadi perkawinan campur sehingga dengan semakin banyaknya Taranak-taranak, maka terciptalah wanua (negeri).
Sebagaimana ketentuan adat, golongan Pasiowan Telu diwajibkan melakukan
pekerjaan-pekerjaan untuk kepentingan umum dan pinontol (bekerja kepada para
pemimpin), seperti menanam dan menuai. Selain itu diwajibkan membagi
hasil pertanian, peternakan maupun perburuan mereka kepada golongan Makarua
Makasiow dan golongan Makatelu Pitu serta melakukan ketentuan-ketentuan adat
misalnya mempersiapkan kurban persembahan setiap dilangsungkan ritual poso
negeri dan menjaga keamanan negeri secara bergiliran (Drs. R. E. H.
Kotambunan,Minahasa II & III, 1985).
Sekitar abad ke-5 terjadi pemberontakan dan peperangan dari golongan
Pasiowan Telu karena tuntutan mereka agar tanah-tanah adat sebagai lahan
pertanian yang sebagian besar sudah di-apar (diolah) sebagai milik golongan
Makarua Siow dan Makatelu Pitu agar dibagi secara adil, menuntut agar sistem
pengangkatan pemimpin tidak lagi bersifat otoritas golongan
Makarua Siow dan golongan Makatelu Pitu, melainkan harus dipilih dari seluruh
anggota masyarakat, tidak dikabulkan dengan alasan tidak sesuai dengan
ketentuan adat.
Melihat peperangan antar Walak (kelompok Taranak) terus berlangsung, tahun 670, beberapa Walian dan Tonaas menyadari akan pentingnya suatu musyawarah di dalam usaha menciptakan kembali akan persatuan dan kesatuan yang berlangsung di sekitar kaki Gunung Tonderukan. Di tempat itu, terdapat sebuah batu “Tumotowa” tempat pelaksanaan ritual poso (J. G. F. Riedel, The Minahasa, 1862). Kendati berlangsung alot, namun musyawarah yang dipimpin oleh Tonaas Kapero yang berasal dari kelompok Pasiowan Telu bersama Muntu Untu dari golongan Makarua Siow sebagai panitera/notulis dan Mandey sebagai saksi, berhasil mencapai beberapa kesepakatan penting, di antaranya: - Menerima penetapan pembagian pemukiman setiap kaum Taranak - Setiap kaum Taranak dapat mengembangkan ketentuan adat dan ritual yang tetap berlandaskan kepercayaan terhadap Empung Walian Wangko (Tuhan Yang Maha Agung) dan opo (leluhur). - Setiap kaum Taranak dapat mengembangkan bahasa sesuai kehendak masing-masing, namun semuanya tetap mengaku sebagai satu Kasuruan, yang tidak dapat dicerai-beraikan oleh siapapun.
Selanjutnya pembagian wilayah pemukiman diatur sebagai berikut :
1. Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Mapumpun, Belung, dan Walian
Kakamang menuju sekitar Gunung Lokon dan bermukim di Mayesu, dekat Kinilow
dan Muung. Mereka disebut Tou Muung kemudian menjadi Tomohon. Mereka
dinamakan Tombulu.
2. Kaum Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Walalangi dan Walian Rogi
menuju ke Niaranan dan Kembuan (Tonsea Lama). Sebagian lagi mendirikan
pemukiman di sekitar Gunung Kalawat (Kalabat). Mereka disebut “
3. Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Karemis dan Piay, pergi ke arah
barat dan menyebar ke Tombasian, Kawangkoan, Langowan, Rumoong (Tareran) dan
Tewasen.
4. Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Pangemanan, Runtuwene dan Mamahit,
menuju ke Kakas, Atep dan Limambot. Mereka dinamakan Toulour.
5. Kaum Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Wuntu, menuju ke Bentenan.
Sebagian lagi mendirikan pemukiman di Ratan. Mereka disebut Ratahan. Yang
menuju ke Towuntu (Liwutung), mereka disebut tou Pasan. Beberapa di antara
tou Pasan mengadakan tumani dan bermukim di Tawawu (Tababo), Belang dan
Watuliney, membaur dengan penduduk dari Taranak Ponosakan, yaitu keluarga
Butiti, Wumbunan dan Tubelan yang datang dari Wulur Mahatus (Pontak). Mereka
disebut tou Ponosakan.
6. Kaum Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Kamboyan, menuju ke dataran
sekitar Danau Bulilin, tempat asal mereka semula dan mendiami pemukiman di
Bukit Batu, Kali dan Abur. Mereka disebut Toundanouw, artinya orang yang
tinggal di sekitar air. Kemudian bangsa Belanda menamakan mereka Tonsawang,
artinya orang yang suka menolong.
7. Kaum Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Angkoy dan Maindangkay menuju
ke arah barat hingga tiba di sekitar Gunung Bantik dan mendirikan pemukiman
Malalayang. Beberapa di antara mereka pergi bermukim di Pogidon dan Singkil.
Karena bermukim di sekitar Gunung Bantik, mereka dinamakan tou Bantik.
Adapun salah satu keputusan penting dari musyawarah di batu ‘’Tumotowa’’
yaitu pembagian wilayah, sehingga batu itu dinamakan ‘’Watu Pinawetengan’’,
artinya batu tempat pembagian. Dalam perjalanan sejarah ternyata perang antar
anak suku di Malesung masih sering terjadi, sehingga 1428 para pemimpin
Minahasa kembali mengadakan musyawarah di sekitar Watu Pinawetengan. Adapun
keputusan yang dicapai dalam musyawarah, yaitu: nama ‘’Malesung’’ diubah
menjadi ‘’Minahasa’’, berasal dari kata esa (satu), diberi awalan ma dan
sisipan in, maka terbentuklah kata ‘’Maha Esa’’ (menyatukan), kemudian
menjadi ‘’Minahasa’’ (Dr. Godee Molsbergen, Geschiedenis Van De Minahasa,
1929), artinya yang menjadi satu, yaitu menyatukan seluruh anak suku
Minahasa: Tontemboan, Tombulu, Tonsea, Toulour, Pasan, Ratahan, Ponosakan,
Tonsawang dan Bantik.
Mengacu dari uraian di atas, itu berarti bahwa anak suku Patokan yang
mendiami wilayah Minahasa Tenggara yang selama ini terkesan adalah pendatang
baru, merupakan suatu kekeliruan, tetapi mereka adalah bagian dari satu
kesatuan yang tak terpisahkan dengan anak suku Minahasa lainnya.
Dalam Pusaran Peperangan
Tahun 1639 armada Spanyol memasuki pelabuhan Amurang. Di
Tahun 1644 bangsa Spanyol kembali menduduki Amurang dengan maksud
menuntut dan menguasai pembelian beras serta hasil bumi lainnya dari
Tonsawang dan Pontak. Penduduk pribumi segera mengangkat senjata lalu terjadi
pertempuran yang sengit. Dalam pertempuran itu 100 pasukan Spanyol tertawan
dan terbunuh. Melihat keadaan demikian armada Spanyol pimpinan Bartholomeo de
Sousa meninggalkan Amurang lalu menuju ke Filipina. Pasukan Tonsawang dan
Tontemboan yang gugur antara lain: Panglima Monde gugur sewaktu melindungi
istrinya Ukung Oki dan Panglima Worotikan. Atas kemenangan pasukan Ukung Oki,
para pemimpin mengadakan musyawarah dan menetapkan memberi gelar kepada Ukung
Oki sebagai Ukung Wangko dan Tonaas Wangko (hukum besar dan pemimpin besar)
yang memimpin pemerintahan di lima wilayah Walak, yaitu Tombasian, Tonsawang,
Pasan Ratahan dan Ponosakan. Benteng Portugis di Amurang dijadikan pusat
pemerintahan Tonaas Wangko Oki.
Di dalam menjalankan tugas pemerintahannya, Tonaas Wangko Oki dikenal sebagai pemimpin yang arif dan bijaksana sehingga ia dihormati dan disegani. Walaupun sudah berstatus janda, namun kecantikannya tidak luntur bahkan semakin menarik.
Raja Bolaang Mongondow saat itu, Loloda Mokoagow sangat tertarik dengan
kecantikan Tonaas Wangko Oki sehingga ia melamar Tonaas Wangko Oki untuk
menjadi istrinya. Lamaran Raja Loloda Mokoagow diterima dengan syarat Raja
Loloda Mokoagow menuruti permintaan Tonaas Wangko Oki, yaitu tanah luas yang
terhampar dari Sungai Ranoyapo hingga Sungai Poigar sebagai dooho (mas
kawin). Hamparan tanah tersebut adalah wilayah yang sudah lama menjadi
sengketa antara Minahasa dan Bolmong. Permohonan Tonaas Wangko Oki disetujui
Raja Loloda Mokoagow kemudian mereka berdua melangsungkan perkawinan. Dengan
ditetapkannya batas antara Minahasa dan Bolmong yaitu Sungai Poigar di
sebelah Barat dan Sungai Buyat di sebelah timur.
Setelah kawin dengan Raja Loloda Mokoagow, kepada Tonaas Wangko Oki
diberikan gelar ratu karena sudah menjadi istri seorang raja. Sejak itu
mereka tinggal dan menetap di Benteng Portugis, kompleks Gereja Sentrum
Amurang. Kemudian Raja Loloda Mokoagow mendirikan sebuah pesanggrahan sebagai
tempat istirahat di wilayah kerajaannya yang terletak di pelabuhan alam
pantai utara. Tempat itu dinamakan Labuhan Oki.
Adapun pemerintahan Ratu Oki terus mengalami kemajuan pesat. Rakyatnya hidup makmur, aman dan tentram, ditopang oleh pasukan keamanan yang kuat. Bahkan kekuatan pasukan keamanan Ratu Oki sampai diketahui Raja Buitenzorg (
Perang Patokan Melawan Belanda
Dengan diterimanya kontrak perjanjian 10 Januari 1679 yang dibuat Belanda, itu berarti Minahasa mengakui kekuasaan Belanda. Tetapi para Ukung dari Bantik, Tonsawang, Ratahan, Pasan dan Ponosakan tidak mau menerima perjanjian tersebut. Pihak Belanda beberapa kali mengadakan pendekatan dengan para Ukung di wilayah Patokan agar menerima perjanjian itu seperti halnya dengan para Ukung Minahasa lainnya. Sebagai tindak lanjut dari desakan pihak Belanda, maka pemimpin keempat Walak masing-masing: Ukung Rugian kepala Walak Tonsawang, Ukung Lokke kepala Walak Pasan, Ukung Watah kepala Walak Ratahan dan Ukung Mokolensang kepala Walak Ponosakan, sepekat mengadakan musyawarah, namun keputusannya tetap menolak perjanjian 10 Januari 1679 karena dianggap hanya menguntungkan pihak Belanda. Melihat keteguhan prinsip mereka, pihak Belanda mengutus suatu pasukan di bawah pimpinan Sersan Smith melalui ekspedisi dengan kelengkapan perang melalui dua jalur, yaitu jalan darat dari sebelah utara dan laut melalui pelabuhan Belang untuk menggempur keempat wilayah itu. Walak Ratahan dan Ponosakan mendapat serangan mula-mula. Penduduk mengadakan perlawanan tetapi pasukan Belanda yang menggunakan perlengkapan perang yang modern saat itu, berhasil menghancurkan negeri Ratahan dan korban berjatuhan. Peristiwa yang sama juga terjadi di Ponosakan. 5 orang waraney dari Ratahan dan Ponosakan gugur. Dari Ratahan pasukan Belanda melanjutkan perjalanan menuju ke wilayah Walak Pasan dan Tonsawang. Setiba di Liwutung, pasukan dari Pasan dan Tonsawang langsung menghadang dan mengadakan perlawanan terhadap pasukan Belanda sehingga 40 penduduk bersama 5 orang Waraney gugur. Sejak saat itu wilayah Walak Ratahan, Ponosakan, Pasan dan Tonsawang secara resmi menerima perjanjian dengan Belanda, sama seperti Walak lainnya di Minahasa.
Kabupaten Minahasa Tenggara
Awal perjuangan pembentukan Kabupaten Minahasa Tenggara sudah mulai menggema sejak 1985, ketika anggota DPRD Kabupaten Minahasa saat itu mengadakan kunjungan ke wilayah selatan Kabupaten Minahasa, dimana beberapa tokoh masyarakat setempat mendesak agar Kabupaten Minahasa Selatan segera dijadikan sebagai daerah otonom. Bersamaan dengan itu aspirasi yang berkembang di Kecamatan Ratahan, Belang, dan Tombatu menginginkan agar wilayah itu layak diperjuangkan menjadi Kabupaten Minahasa Tenggara. Melalui sidang pleno DPRD Minahasa pada 11 Oktober 1985, berhasil memutuskan tentang pemekaran Kabupaten Minahasa Tenggara yang mendapat persetujuan dari pemerintah Kabupaten Minahasa saat itu yang diwakili oleh Sekwilda, Drs SH Sarundajang. Tetapi usulan itu tidak disetujui pemerintah Provinsi
Sulawesi Utara, dengan alasan bahwa pemekaran itu belum mendesak.
Tahun 2003 beberapa tokoh masyarakat di wilayah tenggara Minahasa kembali memperjuangkan Kabupaten Minahasa Tenggara, Januari 2004, terbentuklah Panitia Perjuangan Pembentukan Kabupaten Minahasa Tenggara (PPPKMT) dengan ketua, Dirk Tolu SH MH, Sekretaris Arce Manawan SE dan Bendahara Julius Toloiu SE. Sebulan kemudian PPPKMT mengajukan surat ke DPRD Kabupaten Minahasa dan Penjabat Bupati Kebupaten Minahasa Selatan, perihal pengusulan pembentukan Kabupaten Minahasa Tenggara. Sebagai tindak lanjut, Maret 2004, DPRD Kabupaten Minahasa membentuk panitia khusus dengan ketua Julius EA Tiow, Sekretaris Musa Rondo dengan anggota Ronald Andaria SAg dan Herman Tambuwun mengadakan kunjungan kerja ke wilayah Minahasa Tenggara untuk menampung aspirasi masyarakat. Selanjutnya Panitia Khusus DPRD Minahasa bertemu dengan Penjabat Bupati Minahasa Selatan Drs RM Luntungan untuk melaporkan tentang aspirasi masyarakat Minahasa Tenggara.
Untuk memberikan dukungan moril terhadap perjuangan pembentukan Kabupaten
Minahasa Tenggara, 31 Januari 2006 terbentuk Forum Pendukung
Perjuangan Pembentukan Kabupaten Minahasa Tenggara (FP3K MT) dengan ketua,
Johanis Jangin SE, Sekretaris Teddy Rugian SSos yang nantinya mempresur
politik ke pihak pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi
Utara dan pusat.
Selanjutnya secara berturut-turut, 29 Mei 2006 kunjungan Panitia AD HOC I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI yang terdiri dari Hj Sri Kadarwati Aswin, Ir Marhany Pua, Lundu Panjaitan SH, Drs H Al Rasyid, Drs KH Marwan Aidid dan seorang staf, Mohamad Ilyas SIP. 27 Juni 2006, anggota Komisi II DPR RI, masing-masing Dr Abdul Gafur, Suyuti, Suyana beserta staf ahli DPR RI Yanuwar dan tim Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) pada 10 Agustus 2006, semuanya dalam rangka mengadakan peninjauan tentang kelayakan Minahasa Tenggara untuk menjadi sebagai kabupaten baru.
Pada 8 Desember 2006, di hadapan ratusan masyarakat Minahasa Tenggara
yang hadir di gedung senayan
Tou Patokan Dalam Ke-Minahasa-an
Kendati secara pemerintahan Minahasa Tenggara sudah menjadi daerah otonom, namun sebagai satu kesatuan yang utuh dari Minahasa, maka seharusnya kita memahami makna yang terkandung dalam konteks Minahasa. Sebagaimana hasil musyawarah di Watu Pinawetengan 1428 atau Deklarasi Maesa II, yaitu nama Malesung diubah menjadi Nima Esa, Mina Esa, (Minahasa), artinya: ‘’Ya Setuju Semua Menjadi Satu’’. Nama Minahasa mengandung suatu kesepakatan mulia dari para leluhur melalui musyarawarah dengan ikrar bahwa segenap tou Minahasa dan keturunannya akan selalu seia sekata dalam semangat budaya Sitou Timou Tumou Tou. Dengan kata lain tou Minahasa akan tetap bersatu (maesa) dimanapun ia berada dengan dilandasi sifat maesa-esaan (saling bersatu, seia sekata), maleo-leosan (saling mengasihi dan menyayangi), magenang-genangan (saling mengingat), malinga-lingaan (saling mendengar), masawang-sawangan (saling menolong) dan matombo-tomboloan (saling menopang). Inilah landasan satu kesatuan tou Minahasa yang kesemuanya bersumber dari nilai-nilai tradisi budaya asli Minahasa (Richard Leirissa, Manusia Minahasa, 1995).
Sebagai hasil dari peradaban, pendidikan dan budaya yang selalu ingin
maju, sejak permulaan abad ke-19 tou Minahasa, di dalamnya tou Patokan
bagaikan eksodus meninggalkan tanah leluhur, pergi ke berbagai pelosok Hindia
Belanda (nusantara) menjadi sebagai guru injil dan guru sekolah, pengawas
perkebunan pemerintah dan pegawai perusahaan swasta milik orang-orang Eropa
di Jawa, pegawai pemerintahan, polisi dan tentara KNIL. Selain itu tou
Minahasa menjadi pegawai pelayaran, jawatan kereta api, perusahaan minyak,
mendirikan pers melayu di antaranya Koran Jawa, Kabar Perniagaan (1903) dan
Jawa Tengah (1913) (David E.F. Henley Nasionalism And Regionalisme In
Minahasa, 1996). Selanjutnya banyak di antaranya perantauan yang menggeluti
profesi modern, seperti dokter, pengacara, insinyur, politikus dan pengusaha
yang tersebar di berbagai tempat. Darinya, tou Minahasa termasuk pemerintah,
menghormati setinggi-tingginya atas segala hasil usaha putra-putri Minahasa
karena dengan saling bahu-membahu telah membawa kemajuan peradaban bagi
sesama yang terkebelakang di kepulauan nusantara.
Kendati demikian dimanapun dan dalam keadaan apapun ia berada, tou
Minahasa dengan bangga akan berkata,’’saya adalah orang
Musyawarah Watu Pinawetengan di kaki Gunung Tonderukan, kini sudah
membilang berabad-abad lamanya. Dalam kurun waktu teramat panjang, telah
terbentang selaksa peristiwa silih berganti bagaikan pelangi yang menghiasi
sejarah perjalanan hidup tou Minahasa. Hal ini berarti ke-minahasaan tetap
dijiwai dalam ke-indonesia-an, bahkan dalam kemancanegaraan bagi setiap tou
Minahasa dimanapun ia berada, sebagai bagian dari satu kesatuan Minahasa yang
utuh.
Dengan demikian makna tou Patokan dalam konteks tou Minahasa; adalah
menyangkut jiwa, kepribadian dan jati diri tou Minahasa. Jiwa, karena
merupakan suatu yang utama, menjadi sumber tenaga dan kehidupan; di dalamnya
mencakup seluruh keseutuhan perasaan batin, pikiran dan angan-angan, sehingga
ia merupakan roh kehidupan dari setiap tou Minahasa. Sebagai kepribadian, karena
ia merupakan seluruh dari sifat-sifat dan watak dari tou Minahasa, dan
sebagai jati diri karena ia merupakan sesuatu yang asli dan murni sebagai
ciri atau tanda pengenal tou Minahasa.
Hasil karya tou Minahasa/tou Patokan sebagai perwujudan dari potensi
cipta, rasa, dan karsa itulah yang disebut sebagai budaya Minahasa dan
sebagaimana layaknya suatu budaya, ia mengandung nilai-nilai dan norma-norma
yang kemudian diaktakan dalam bentuk praktis yaitu suatu kekayaan rohani
berupa pemikiran, yang kemudian diwujudkan dalam setiap ucapan dan perbuatan
keseharian hidup sebagai tou Minahasa.#
*Tou Mitra, pemerhati sejarah budaya Minahasa
|
|
Sumber: mdopost.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar